Novel –Karl May – Winnetou
Bilamana saya merenungkan orang
Indian, selalu terbayang juga tentang orang Turki . Mungkin ini sekilas tampak
aneh, tapi sungguh beralasan. Walaupun di antara keduanya hanya terdapat
sedikit persamaannya, namun mereka serupa dalam suatu hal, bahwa sepertinya
mereka bagian dari masa lalu. Orang
Turki selalu dibandingkan dengan orang sakit, sementara bagi barangsiapa yang
tahu selukbeluk orang Indian,
menjulukinya sebagai orang sekarat.
Apakah mereka bersalah atas
kematian yang belum saatnya ini? Apakah mereka pantas ditimpa nasib sekejam
itu?
Jika benar bahwa semua yang hidup
memiliki hak untuk hidup dan jika prinsip ini berlaku untuk semua orang tanpa
kecuali, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, maka orang kulitmerah
pun memiliki hak yang sama untuk hidup, seperti halnya dengan orang kulitputih.
Mereka juga boleh menuntut hak untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sosial
dan kemasyarakatan sesuai dengan jati dirinya. Tentu saja orang bisa
membantahnya dengan berkata bahwa orang Indian tidak memiliki pembawaan dasar
untuk membentuk suatu negara. Benarkah demikian? Saya katakan, tidak! Sayang,
saya tidak bisa memaparkan alasan-alasannya karena saya tidak bermaksud untuk
menulis karangan ilmiah tentang hal itu. Orang-orang kulitputih mendapat
kesempatan untuk berkembang secara alami. Secara bertahap mereka beralih
dari budaya berburu ke budaya
menggembala ternak, kemudian dari sana ke budaya bercocoktanam dan akhirnya
mencapai budaya industri. Proses ini berlangsung selama ratusan tahun. Sementara
itu orang kulitmerah tidak mendapat kesempatan itu karena mereka tidak diberi
waktu. Sebagai pemburu mereka harus membuat loncatan yang besar dari tahap
pertama ke tahap terakhir. Ketika mereka dituntut untuk berubah, orang sama
sekali tidak berpikir bahwa mereka akan gagal dan akan terluka akibat perubahan
itu.
Bahwa pihak yang lemah harus
menyingkir demi pihak yang kuat, ini merupakan hukum yang kejam. Namun karena
hukum itu sudah menyebar dalam alam dan sudah mendapat pengakuan, maka kita
harus menerima bahwa kekejaman seperti itu hanya merupakan pembenaran
kristiani, karena bukankah kebijakan
hakiki yang mendasari hukum itu adalah juga cintakasih sejati? Apakah kita
boleh mengatakan bahwa kepunahan suku Indian berhubungan dengan pembenaran
kekejaman seperti di atas?
Ketika orang kulitputih tiba,
mereka disambut oleh orang Indian bukan
saja dengan ramah, tapi bahkan juga dengan
semacam suatu penghormatan sakral. Imbalan apa yang kemudian diperoleh
orang Indian? Jelas dengan sendirinya bahwa tanah yang ditempati orang Indian
adalah milik mereka. Tetapi tanah itu kemudian dirampas orang kulitputih.
Setiap orang yang pernah membaca kisah terkenal tentang
"Conquistadores" pasti tahu
bahwa di sana telah terjadi pertumpahan darah dan tindakan penuh kekejaman. Dan
metode seperti ini terus diterapkan belakangan. Orang kulitputih datang dengan
memasang senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang
berikut senjata api yang siap
ditembakkan di tangan. Mereka menjanjikan cintakasih dan perdamaian dalam
omongan, namun menebar kebencian dan pertumpahan darah. dalam
kenyataan Orang kulitmerah harus
menyingkir setapak demi setapak. Pada mulanya mereka diberi hak
"istimewa" atas wilayah teritorialnya. Tetapi setelah beberapa saat
mereka dikejar dan diusir keluar dari tanahnya sendiri, semakin hari semakin
jauh. Orang kulitputih "membeli" tanah dari orang Indian tanpa
membayarnya, atau menukarkannya dengan barang tak berharga yang tidak bisa
dipakai oleh orang Indian. Bahkan secara diam-diam mereka disuguhkan racun yang
disembunyikan di dalam "Air-api"
berikut kemudian penyakit cacar
dan penyakit-penyakit lain yang lebih parah dan menjijikkan. Penyakit itu
menghancurkan seluruh suku Indian dan desa-desanya. Jika kulitmerah menuntut haknya, kulitputih
menjawab dengan mesiu dan peluru. Dan
mereka pun harus menyingkir dari senjata
kulitputih yang lebih handal. Karena kecewa, mereka membalas dendam dengan
membunuh setiap kulitputih yang dijumpai. Akibatnya, pembantaian massal yang
resmi terhadap kulitmerah pun tak terelakkan lagi. Oleh
karena itu, mereka yang sebenarnya adalah pemburu yang penuh percaya
diri, gagah, berani, mencintai kebenaran, jujur, dan setiakawan; kini berubah
menjadi orang yang licik, penuh prasangka dan suka berbohong. Tetapi mereka
tidak bisa berbuat lain, karena bukan mereka,
melainkan orang kulitputihlah yang bersalah atas semua yang terjadi.
Apa yang terjadi dengan kawanan mustang yang dulu biasa mereka
tangkap dengan gesit dari atas kuda tunggangan, kemana perginya kawanan itu
sekarang? Dimana mereka kini bisa mendapat lagi bison yang menjadi santapannya
seperti ketika ribuan kawanan itu masih
berkeliaran di hutan-hutan prairie? Sekarang apa sumber nafkah mereka? Apakah
dari tepung gandum dan daging yang dibagikan kepada mereka? Lihatlah, betapa
banyak bubuk kapur dan bahan asing lain yang terdapat dalam tepung itu. Siapa
yang dapat menyantapnya? Jika sebuah
suku dijanjikan seratus ekor lembu yang sangat tambun, hanya dalam beberapa
hari lembu itu telah berubah menjadi dua atau tiga sapi tua yang begitu kurus
bahkan burung ruak pun enggan menyantapnya.
Atau haruskah orang kulitmerah hidup dengan bercocoktanam? Apakah mereka
bisa mengharapkan hasil panenan, sementara mereka tidak mempunyai hak dan terus
didesak serta tidak diberi tempat untuk menetap?
Dulu mereka kelihatan begitu
percaya diri dan anggun ketika
berkendara melintasi padang sabana yang
luas seraya diterpa oleh lambaian surai kudanya. Dan kini mereka kelihatan sengsara
dan hina dengan pakaian compang-camping yang
tidak mampu menyembunyikan kesengsaraannya. Mereka yang dulu mempunyai
tenaga sangat kuat sehingga mampu
membunuh seekor beruang dengan tangan kosong, kini seperti anjing
kudisan yang kelaparan dan berkeliaran
dari rumah ke rumah untuk mengemis sekerat daging atau untuk ... mencurinya!
Begitulah, mereka sudah menjadi
orang sekarat yang siap dijemput maut. Dan kita berdiri terharu di samping
tempat tidurnya tetapi menutup mata terhadap nasibnya. Berdiri di samping
tempat tidur seseorang yang akan
meninggal merupakan pengalaman yang menyedihkan. Tapi kesedihan itu akan menjadi seratus kali lipat
jika yang mati itu adalah sebuah sukubangsa. Banyak pertanyaan akan muncul,
terutama: apa yang dapat dihasilkan oleh sukubangsa ini jika mereka diberikan
waktu dan tempat untuk mengembangkan semua bakat dan kemampuannya? Bukankah itu
berarti sebuah budaya yang khas harus hilang dari peradaban manusia bersama
punahnya bangsa ini? Bangsa yang sedang menghadapi maut ini tidak mampu
menyesuaikan diri dengan budaya lain karena mereka memiliki keunikan
tersendiri. Haruskah mereka dibunuh karena alasan itu? Apakah mereka tidak bisa
ditolong? Mengapa bison-bison bisa dipindahkan ke Taman Nasional Montana dan
Wyoming agar binatang ini tidak punah, sementara orang Indian yang menjadi tuan tanah di sana
tidak diberikan tempat tinggal agar
mereka bisa hidup dengan damai dan berkembang secara maksimal?
Namun apa gunanya pertanyaan ini
jika kematian mereka tidak bisa dihindari lagi? Apa gunanya kita mengecam jika
semuanya sudah terlambat? Saya hanya bisa mengeluh tetapi tidak bisa mengubah
apa pun. Saya hanya bisa berkabung
tetapi tidak mampu menghidupkan kembali orang
mati! Ya ... itulah saya. Tetapi saya mengenal orang Indian dalam waktu
yang lama. Di antara mereka, saya mengenal seorang yang cerdas, berwibawa, baik
hati dan hingga kini dia masih tetap hidup dalam hati dan ingatan saya. Dia
adalah teman paling baik, setia dan rela berkorban. Dia memiliki tipe asli
orang Indian. Dan ketika bangsa ini dihancurkan, dia pun turut gugur, dia
hilang dari kehidupan karena terkena peluru
dari seorang musuh. Saya menyayangi dia tiada duanya dan sampai sekarang
saya mengagumi bangsa yang nyaris punah ini. Dan dia adalah putra terbaik dari
bangsa ini. Seandainya bisa, saya akan memberikan nyawa saya agar dia tetap
hidup seperti dia yang ratusan kali telah mempertaruhkan nyawanya demi saya.
Saya tidak rela dia gugur setelah dia muncul sebagai dewa penolong bagi para sahabatnya. Namun kiranya hanya jasadnya
saja yang musnah sedangkan namanya akan tetap hidup dalam buku ini, seperti
halnya dalam hati saya. Dialah Winnetou,
kepala suku yang agung dari sukubangsa Apache.
Dengan buku ini saya ingin
mengenangnya. Dan jika para pembaca mampu melihatnya dengan matahati dan
kemudian membuat penilaian yang adil terhadap suatu sukubangsa yang memiliki
kepala suku itu sebagai pahlawannya, maka saya merasa sangat tersanjung.
Pengarang
Tengkiugan.. tambah lagi gan WInnetou-Old Shatterhand-nya gan :)
ReplyDelete